Todosemjogo.org – Dinamika politik Kota Bekasi kembali memanas. Komunitas Mahamuda Bekasi mendesak Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di DPRD Kota Bekasi untuk mengajukan hak angket atas kebijakan mutasi jabatan yang digelar pada awal September. Sorotan tajam diarahkan pada penempatan kerabat dekat Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, di posisi strategis pemerintahan daerah.
Read More : Elektabilitas Calon Walikota Bekasi Terus Naik
Mutasi aparatur sipil negara lazim disebut sebagai bagian dari penyegaran organisasi. Namun kasus kali ini berbuntut panjang. Dalam rotasi tersebut, adik kandung Wali Kota disebut menduduki kursi Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes).
Sementara adik ipar Wali Kota, yang juga suami Kadinkes, dikabarkan menempati jabatan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda). Rangkaian keputusan ini memantik tanya: apakah rotasi benar murni profesional, atau justru sarat konflik kepentingan?
Sorotan Nepotisme dan Konflik Kepentingan
Ketua Mahamuda Bekasi, Imam Saripudin, menyebut komposisi mutasi itu “mengandung potensi kolusi, nepotisme, dan konflik kepentingan.” “Wali kota seolah menggunakan kewenangan untuk menguntungkan keluarga sendiri,” ujarnya dalam keterangan pers, Sabtu, 27 September 2025.
Ucapan itu bukan sekadar kritik; ini alarm publik. Sebab ketika garis keluarga bertemu garis kewenangan, tata kelola yang bersih terancam buram.
Mahamuda mengajak Fraksi PKB tampil sebagai inisiator hak angket. Bagi mereka, ini bukan sekadar manuver politik, melainkan kompas moral. “Sebagai partai yang vokal membela hak publik, PKB perlu mengonsolidasikan dukungan lintas fraksi,” kata Imam. Masyarakat, lanjutnya, berhak melihat DPRD berdiri tegak: siapa yang berani bersuara, siapa yang memilih bungkam.
Peta Fraksi dan Peluang Koalisi
Dalam kalkulasi Mahamuda, dukungan bisa dirajut dengan Fraksi PKS sebagai pemenang pemilu kota, serta PAN dan fraksi-fraksi lain. Kuncinya koordinasi. Hak angket membutuhkan kekuatan politik yang cukup, tetapi lebih dari itu—membutuhkan nyali untuk membuka jendela transparansi selebar-lebarnya. Bila konsolidasi berhasil, parlemen daerah punya instrumen sah untuk menyelidiki dugaan penyalahgunaan kewenangan.
Baca juga: Apbd Bekasi 2025 Disahkan Fokus Pada Infrastruktur
Mengapa Hak Angket Penting?
Hak angket adalah alat penyelidikan dewan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap strategis dan berdampak luas. Di level kota, ia bisa menelusuri proses, dasar hukum, dan pertimbangan profesional dalam mutasi.
Apakah ada uji kompetensi? Bagaimana jejak rekam kinerja? Siapa saja tim penilai? Apakah prosedur anti-konflik kepentingan ditegakkan? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan apakah kebijakan mutasi memenuhi asas meritokrasi atau hanya merapikan formasi keluarga.
Kepercayaan warga adalah mata uang politik paling mahal. Ketika jabatan publik dirasa menjadi ruang keluarga, publik kehilangan pegangan. Di ruang-ruang layanan, dari puskesmas hingga loket pajak daerah, warga menuntut profesionalisme, bukan privilese. Pemerintahan yang akuntabel mestinya mampu menjelaskan setiap rotasi dengan data, metrik kinerja, dan standar objektif—bukan dengan alasan yang terdengar seperti titipan.
Mahamuda menilai, jika polemik dibiarkan, integritas Pemkot Bekasi akan tergerus. Hak angket dipandang sebagai jalan terang—bukan untuk mempermalukan, melainkan untuk memperbaiki. “DPRD harus berani membuka terang-benderang dugaan kolusi dan nepotisme ini, agar masyarakat tahu siapa dewan yang berani bersuara dan siapa yang hanya menjadi stempel,” tegas Imam. Pernyataan itu menempatkan DPRD di persimpangan: memilih kenyamanan politik, atau mandat rakyat.
Publik menunggu dua hal. Pertama, kejelasan prosedur: dokumen, notulensi, dan dasar evaluasi yang melahirkan mutasi. Kedua, komitmen integritas: mekanisme pencegahan konflik kepentingan, pengumuman terbuka soal uji kelayakan, hingga standar kinerja yang terukur. Ketika semua dibuka, opini akan bergeser dari prasangka menuju penilaian berbasis bukti.
Penutup: Ujian Bagi Demokrasi Lokal
Demokrasi lokal kerap diuji bukan dalam pesta pemilu, melainkan dalam keputusan sehari-hari yang memengaruhi layanan publik. Polemik mutasi di Pemkot Bekasi adalah cermin itu. Jika DPRD mengambil langkah membentuk hak angket, prosesnya harus rapi, proporsional, dan berbasis data. Jika eksekutif meyakini semua sesuai koridor, inilah panggung untuk membuktikannya. Publik tidak menuntut kesempurnaan—publik hanya ingin kejujuran, keterbukaan, dan keberanian. Di situlah integritas pemerintahan menemukan maknanya.




