Todosemjogo.org – Gelombang reaksi publik merebak setelah beredar kabar dugaan pemotongan gaji yang dialami Muhammad Husni (62), tenaga keamanan sekaligus juru parkir di Puskesmas Teluk Pucung, Kecamatan Bekasi Utara.
Read More : Pemerintah Bekasi Perluas Jaringan Transportasi Publik
Di tengah sorotan warganet dan keresahan masyarakat, isu sensitif di sektor layanan kesehatan ini menuntut penjelasan, kejelasan, dan penyelesaian. Bukan sekadar soal angka rupiah yang berkurang, tetapi tentang marwah pekerja, etika pengelolaan, dan rasa keadilan dalam pelayanan publik.
Mediasi Arif Rahman Hakim
Menangkap keresahan tersebut, Anggota DPRD Kota Bekasi dapil Bekasi Utara–Medan Satria, Arif Rahman Hakim, turun tangan memfasilitasi pertemuan kedua pihak. Mediasi digelar untuk membuka ruang dialog, merapikan duduk perkara, dan menguji klaim dengan kepala dingin. Dari proses itulah satu kesimpulan mengemuka: ini bukan panggung mencari siapa benar–siapa salah, melainkan panggung memperbaiki yang kurang.
Dalam keterangan kepada media, Arif menegaskan, persoalan ini berakar pada miskomunikasi. Tidak ada yang disalahkan secara mutlak. Keterbatasan informasi, asumsi yang berkelindan, dan alur koordinasi yang tidak rapi membuat tafsir melebar. Kabar yang telanjur viral memperkeruh suasana. Di ruang mediasi, benang kusut itu diurai: menukar prasangka dengan fakta, meninggalkan nada tinggi demi solusi.
Kesepakatan Kekeluargaan
Hasilnya tegas dan terukur. Pertama, Muhammad Husni kembali diberdayakan sebagai tukang parkir di lingkungan puskesmas. Ini bukan sekadar pemulihan posisi, melainkan pengakuan atas kontribusi yang telah ia berikan. Kedua, pihak puskesmas memberikan kompensasi sebagai bentuk penghargaan atas pengabdian Husni selama ini. Dua butir kesepakatan yang menyatukan kepentingan: menjaga pelayanan publik tetap berdenyut, sekaligus memastikan pekerja tetap dihargai martabatnya.
Tak berhenti pada solusi instan, Arif mendorong langkah keberlanjutan. Ia menyampaikan upaya membantu suami dari Bu Yayan—menantu Husni—untuk memperoleh pekerjaan di wilayah Bekasi Utara. Sebuah jaring pengaman sosial yang diusahakan melalui jaringan kerja dan koordinasi lintas pihak. Harapannya sederhana namun krusial: kestabilan ekonomi keluarga, agar riak masalah hari ini tidak berbalik menjadi badai esok hari.
Baca juga: Sate Bekasi Viral Di Media Sosial Jadi Buruan
Permintaan Maaf dan Klarifikasi Publik
Di hadapan publik, keluarga Husni—melalui Bu Yayan—menyampaikan permohonan maaf atas kegaduhan yang sempat muncul imbas viralnya isu ini. Sebuah sikap dewasa yang patut dicatat. Permintaan maaf bukan untuk menghapus kritik, melainkan untuk menutup pintu prasangka. Dengan itu, ruang publik kembali diberi oksigen: agar percakapan bergeser dari kabar burung menjadi kabar yang bertanggung jawab.
Kasus Teluk Pucung menyisakan catatan penting bagi pengelola layanan publik. Di tengah tekanan ekonomi, tiap kebijakan yang menyentuh penghasilan pekerja menuntut prosedur yang transparan, komunikasi yang tertib, serta dokumentasi yang rapi. Pemerintah—sebagai pengayom—ditantang peka terhadap sinyal-sinyal kecil di lapangan: papan pengumuman yang jelas, kanal pengaduan yang responsif, dan audit internal yang rutin. Begitu pula mitra kerja: agar mekanisme honorarium, jam kerja, dan penugasan tak lagi menimbulkan tafsir ganda.
Bekal Perbaikan: Tata Kelola dan Komunikasi
Ada tiga pelajaran kunci. Pertama, tata kelola: SOP soal pengupahan, potongan, dan sanksi administratif harus tertulis, mudah diakses, dan disosialisasikan. Kedua, komunikasi: keputusan yang berdampak pada penghasilan wajib disampaikan langsung—tidak lewat kabar berantai. Ketiga, pencatatan: slip gaji, daftar hadir, dan berita acara menjadi pagar bukti ketika badai rumor datang. Dengan tiga bekal ini, lembaga layanan seperti puskesmas dapat menjaga kepercayaan publik.
Akhir damai ini perlu dibingkai sebagai awal pembenahan. Bukan menepuk dada, melainkan menata langkah. Ketika pekerja merasa dilindungi, pelayanan akan lebih manusiawi; ketika institusi transparan, kritik berubah menjadi masukan. Kota Bekasi butuh ekosistem seperti itu—tempat pelayanan publik tegak, pekerja dihormati, dan warga mendapat kepastian.
Penutup: Dari Polemik ke Praktik Baik
Pada akhirnya, penyelesaian kekeluargaan di Puskesmas Teluk Pucung mengajarkan satu hal: konflik dapat diredakan ketika pihak-pihak memilih duduk bersama. Muhammad Husni kembali bekerja, kompensasi diberikan, dan jalur pekerjaan baru diupayakan bagi keluarganya. Selebihnya adalah pekerjaan rumah: merapikan prosedur, memperkuat komunikasi, dan memastikan setiap rupiah yang keluar–masuk tercatat terang. Agar kisah yang sempat viral ini berakhir bukan hanya dengan damai, tetapi juga dengan praktik baik yang bisa ditiru layanan publik lain di Bekasi—hari ini, besok, dan seterusnya.






