Todosemjogo.org – Aliansi Rakyat Miskin Bekasi menggelar aksi di depan Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Bekasi, Kamis, 25 September 2025. Tuntutan utama: penanganan serius dugaan korupsi di lingkungan Pemerintah Kota Bekasi era Tri Adhianto, dengan sorotan tajam pada kerja sama PT Migas Kota Bekasi dan Foster Oil and Energy yang dinilai bermasalah secara hukum.
Read More : Aksi Premanisme Di Bekasi Dibasmi Polisi
Latar: Mengapa Massa Turun Jalan?
Pertanyaan yang menggema dari pengeras suara massa sederhana tapi menohok: sejauh mana negara hadir ketika dugaan penyimpangan menyentuh nadi pelayanan publik? Di Bekasi, jawabannya ditagih di pintu Kejari. Warga membawa poster, menyampaikan keresahan, menuntut transparansi. Mereka yakin, membersihkan ruang publik dari korupsi bukan sekadar jargon, melainkan kewajiban yang harus dibuktikan dengan tindakan.
Koordinator aksi, Mandor Baya, menempatkan satu perkara di panggung depan: kerja sama PT Migas Kota Bekasi dengan Foster Oil and Energy. Di mata massa, proyek ini bukan sekadar baris dalam laporan tahunan, melainkan simpul kepentingan daerah yang wajib diaudit secara menyeluruh. Mereka menilai ada cacat hukum yang perlu diselidiki tuntas—dari legitimasi perjanjian, tata kelola, hingga potensi kerugian daerah.
Di sinilah publik menuntut kejelasan. Pernyataan Direktur Utama PT Migas yang menyebut kondisi perusahaan “dari buntung menjadi untung” memantik tanda tanya. Untung bagi siapa? Dengan mekanisme apa? Apakah perubahan itu terjadi karena efisiensi, atau justru ada praktik yang harus dibuka ke terang? Massa ingin angka, dokumen, dan proses yang bisa diuji.
Respons Kejaksaan: Sembilan Tuntutan Diterima
Kepala Seksi Intelijen Kejari Kota Bekasi, Riyan Anugrah, memastikan institusinya telah menerima sembilan poin tuntutan dari pengunjuk rasa. Publik menunggu langkah berikutnya: pemetaan perkara, pemanggilan pihak terkait, hingga transparansi tahapan penyelidikan. Di ranah penegakan hukum, kecepatan penting—tetapi ketelitian jauh lebih krusial. Setiap keputusan harus dapat dipertanggungjawabkan di meja audit dan di hadapan warga.
Usai menyampaikan tuntutan di Kejari, massa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Miskin Kota (ARMK) melanjutkan konvoi ke Kantor Wali Kota Bekasi. Orasi dari mobil komando menegaskan pesan: periksa, ungkap, adili jika terbukti. Dalam perjalanan menuju ruas Tol Barat—dekat Mal Mega Bekasi—spanduk panjang terbentang, menyerukan pemeriksaan terhadap pejabat terkait. Selebaran agitasi dibagikan kepada pengguna jalan di lampu merah, sebagai ajakan luas agar warga ikut mengawasi proses hukum.
Baca juga: Apbd Bekasi 2025 Disahkan Fokus Pada Infrastruktur
Tuntutan Publik: Transparansi, Akuntabilitas, Pemulihan
Tiga hal diulang-ulang dalam orasi dan spanduk:
- Transparansi: buka kontrak, audit independen, dan paparan berkala progres penanganan dugaan korupsi PT Migas–Foster Oil.
- Akuntabilitas: jika ada unsur pidana, tegakkan hukum tanpa pandang bulu—baik kepada pejabat aktif, keluarga, maupun korporasi yang terlibat.
- Pemulihan: hitung potensi kerugian daerah, susun mekanisme pengembalian aset, dan benahi tata kelola BUMD agar kebocoran tidak berulang.
Gaya Pemerintahan yang Ditagih Publik
Di ruang kebijakan, integritas bukan pilihan, melainkan fondasi. Pemerintah daerah dituntut memberi contoh: lelang yang bersih, konflik kepentingan yang dihindari, dan pelaporan kinerja yang dapat diaudit. BUMD strategis seperti PT Migas harus dikelola dengan prinsip good corporate governance: keterbukaan informasi, manajemen risiko, dan pengawasan efektif oleh pemilik modal—yakni publik.
Kasus dugaan korupsi selalu memerlukan bukti yang tegas, kronologi yang rapi, serta saksi yang kredibel. Namun publik juga berhak atas kepastian. Karena itu, Kejari didorong menapaki tahapan hukum secara jelas: telaah awal, penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan jika terpenuhi unsur pidana. Di setiap tahap, komunikasi publik yang jernih adalah bentuk penghormatan kepada warga.
Penutup: Menguji Janji, Mengukuhkan Harapan
Aksi 25 September 2025 bukan sekadar kerumunan. Ia adalah cermin kepercayaan warga bahwa hukum masih bisa jadi penyeimbang kuasa. Tugas Kejari Kota Bekasi kini tidak ringan: menautkan bukti dengan keberanian, menyambungkan prosedur dengan keadilan. Publik menunggu, media mengawasi, sejarah mencatat.
Bekasi butuh kepastian: bila bersih, jelaskan. Bila kotor, bersihkan. Karena pada akhirnya, pemerintahan yang baik bukan dinilai dari slogan, melainkan dari kesediaan untuk membuka fakta, menerima koreksi, dan menegakkan hukum. Itulah standar yang dituntut warga. Itulah yang, bila dipenuhi, akan mengubah “dari buntung menjadi untung”—untungnya publik, bukan segelintir pihak.






